Optimasi Peran Diaspora
Oleh : Bimo Joga Sasongko *)
Presiden Amerika Serikat ke-44
Barack Obama dijadwalkan hadir untuk membuka Kongres Diaspora Indonesia ke-4 di
Jakarta. Tujuan utama kongres untuk menghimpun potensi yang dimiliki Diaspora
Indonesia agar bisa memberikan nilai tambah dan pemikiran bagi pembangunan di
Tanah Air.
Dialektika kehidupan dan gaya
kepemimpinan Obama sangat menginspirasi masyarakat dan Diaspora Indonesia.
Konektivitas dunia yang berkembang pesat menjadikan negara seolah tanpa batas.
Warga dunia semakin mudah menjalin kerjasama dan bekerja di negara lain.
Kondisi demografi Indonesia
dengan jumlah penduduk yang besar dan segera memasuki era bonus demografi
mestinya menjadikan bangsa ini memiliki jumlah diaspora nomor tiga dunia
setelah Tiongkok dan India.
Diaspora adalah penghasil devisa yang sangat signifikan. Peran diaspora
Indonesia juga penting dalam proses global brain circulation yang sangat
menentukan bagi pengembangan iptek dan pendidikan. Begitupun promosi industri
budaya dan produk nasional bisa tersebar ke seantero dunia lewat diaspora.
Untuk mewujudkan hal diatas perlu mengoptimalkan langkah Indonesian Diaspora
Network Global (IDNG). Saatnya para diaspora bersinergi bangun negeri
dengan kiprahnya masing-masing di luar negeri.
Kongres Diaspora Indonesia
adalah perhelatan yang dilaksanakan setiap dua tahun sekali oleh IDNG. Jaringan
ini dibentuk saat kongres Diaspora Indonesia yang pertama di Los Angeles pada
2012. Kongres ke-4 kali ini untuk membahas berbagai isu ekonomi, sosial dan
budaya. Dengan tujuan meningkatkan kehidupan masyarakat Indonesia di tanah air
maupun di luar negeri.
Kementerian Luar Negeri RI perlu
membuat sistem informasi dan menerbitkan kartu Diaspora Indonesia untuk
memetakan secara detail kiprah dan potensi.Terutama spesialisasi profesi
dan domisili diaspora. Sistem informasi dan pembuatan kartu untuk memberikan
dukungan kepada para diaspora terkait aktivitasnya di luar negeri. Seperti
misalnya dukungan fasilitas yang diberikan mereka dalam bentuk insentif dalam
bisnis maupun investasi.
Sistem informasi dan kartu
diaspora harus diikuti dengan kebijakan yang konkrit untuk membantu para
diaspora yang kini menjadi pekerja migran. Eksistensi IDNG harusnya bisa bantu
pekerja migran yang kini butuh sistem kontrak mandiri. Kontrak mandiri merupakan
proses penempatan tanpa memakai jasa komersial yakni PJTKI/PPTKIS
di dalam negeri atau pihak agensi di negara penempatan.
Kontrak mandiri sangat
dibutuhkan pekerja migran agar mereka tidak lagi terkena overcharging sebagai
imbas langsung penempatan oleh PJTKI dan agensi. Hal itu juga bisa
menghemat biaya penempatan buruh migran. Kontrak mandiri juga bisa membuat
pekerja migran menjadi lebih tangguh dan lincah karena tertantang untuk terus
mengembangkan diri. Mestinya pemerintah Indonesia jangan kalah dengan Filipina
yang telah memberi kebebasan bagi warganya yang menjadi diaspora dalam hal
kontrak mandiri jika bekerja di luar negeri.
Pemerintah bersama IDNG
harus segera merumuskan peta jalan untuk mengoptimasikan peran
diaspora dan memperbanyak jumlahnya hingga menjadi tiga besar dunia. Hal
itu tentunya membutuhkan strategi dan skema pembiayaan yang konsisten. Perlu
program untuk mentransformasikan Diaspora Indonesia yang kini berprofesi
sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT) berubah menjadi TKI formal
dengan kompetensi serta lebih bermartabat dan bernilai tambah.
Para diaspora juga sangat
penting untuk membantu merumuskan jenis profesi di luar negeri yang bisa
diambil oleh WNI berpendidikan yang kini banyak menganggur. Seperti misalnya
SDM kesehatan khususnya perawat yang terpaksa menganggur atau kerja tak menentu
sebagai pegawai honorer. Sebaiknya mereka diarahkan menjadi pekerja migran. Hal
ini tentunya perlu pemberian fasilitas pembiayaan. Sudah waktunya perbankan
nasional menyiapkan plafon kredit.
Kini Diaspora Indonesia banyak
yang berperan penting dalam berbagai profesi dan bidang keilmuwan. Seperti
diaspora di Malaysia yang tergabung dalam Indonesia Brain Gain (IBG)
Association Chapter Kuala Lumpur yang telah menerbitkan buku yang bertajuk
Indonesia Brain Gain. Buku ini membahas tentang industri energi,
penerbangan, inovasi teknologi, kewirausahaan, produk halal dan trend
global.
Tak pelak lagi, diaspora saat
ini makin mendapatkan perhatian serius oleh semua negara. Posisi penyumbang
diaspora terbesar dunia kini ditempati Tiongkok dan posisi kedua ditempati
India. Kedua posisi ini seiring dengan total populasi kedua negara tersebut.
Diaspora Indonesia layak belajar dari diaspora Tiongkok maupun India. Banyak
diantaranya yang berhasil menjadi pemimpin korporasi dan organisasi
global di luar negeri.
Diaspora memiliki peranan
penting dalam mempromosikan Indonesia di negara-negara lain. Diaspora Tiongkok
mampu berkontribusi bagi negaranya sekitar 780 miliar dollar AS setiap
tahunnya. Sedangkan diaspora India berkontribusi bagi negaranya sekitar 180
miliar dollar AS. Sementara diaspora Indonesia pada 2016 baru bisa mendatangkan
devisa sekitar 9 miliar dollar AS.
Semangat voluntarisme dari para
diaspora harus terus difasilitasi agar mereka tetap memiliki kecintaan pada
Tanah Air dan berbakti nyata demi pembangunan Indonesia.
Saatnya peningkatkan human
capital investment dengan mencetak sebanyak mungkin Diaspora Indonesia yang
unggul dan berkompeten. Karena permasalahan terkait dengan pekerja migran
menyangkut tingkat pendidikan dan kompetensi yang memadai. Indonesia
harus malu karena standar kompetensi pekerja migran asal Filipina rata-rata
lebih tinggi. Karena sistem sertifikasi dan standar kompetensi disana lebih kredibel,
cepat berkembang dan tertata dengan baik.
Trend global menunjukkan bahwa
jumlah wirausaha dari kalangan pekerja migran saat ini berkembang pesat. Para
diaspora sedang bertransformasi menjadi pengusaha atau wirausaha. Ada fenomena
yang sangat menarik dan bisa dijadikan model yang bagus. Yakni semakin
banyaknya pekerja migran dari berbagai negara yang menjadi wirausaha di
Jerman.
Menurut laporan Bank Pembangunan
Jerman, seperlima perusahaan baru di Jerman didirikan oleh para enterpreneur
muda dari kalangan pekerja migran. Para migran di Jerman banyak punya gagasan
bisnis yang konkrit dan berhasil meluncurkan produk baru ke pasaran. Mereka
sekaligus membuka lapangan kerja baru. Para migran menjadi pengusaha dalam usia
jauh lebih muda. Sekitar 48 persen wiraswasta berlatar belakang migran berusia
di bawah 30 tahun. Mereka kebanyakan langsung mendirikan perusahaan begitu
menyelesaikan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar