Senin, 04 Desember 2017
Investor Daily Indonesia
Guru dan Efektivitas Angaran Pendidikan
Presiden Joko Widodo
menghadiri puncak peringatan hari ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) ke-72, sekaligus juga sebagai peringatan Hari Guru Nasional (HGN).
Pada puncak peringatan
bertempat di Lapangan Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Jawa Barat, dan
dihadiri oleh puluhan ribu guru, Presiden Jokowi menyatakan komitmennya yang
tinggi dalam pengembangan profesi guru dan terus memperbaiki kesejahteraannya. Peringatan
HGN selalu diwarnai dengan masalah klasik terkait kualitas guru. Jumlah guru
yang memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) mencapai 3
juta orang. Jumlah tersebut sebagian besar sedang menunggu proses sertifikasi.
Banyak yang kurang
menyadari bahwa kualitas dan standar profesi guru yang digariskan dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) dengan cara uji
sertifikasi, sejatinya bukanlah tujuan akhir. Melainkan titik awal lintasan
profesi guru untuk meningkatkan kompetensinya dengan progress yang lebih
terukur.
Sebagai titik awal,
sertifikasi mesti disertai dengan tingkat kesejahteraan dan pengembangan karier
guru secara progresif. Indonesia jangan kalah dengan Malaysia yang sangat
bersemangat mengembangkan profesi guru dengan cara mengirimnya belajar ke
berbagai negara.
Para guru dari daerah yang
memiliki prestasi tinggi sebaiknya diberi kesempatan untuk belajar di negara
maju agar memiliki wawasan dan kompetensi kelas dunia. Guru tersebut sebelumnya
diberi kesempatan meningkatkan kemampuan berbahasa asing beserta pengetahuan
kebudayaan dan karakter bangsa yang sudah mencapai tingkat kemajuan.
Insentif untuk guru
sebaiknya tidak hanya berupa uang. Tetapi juga berupa kesempatan untuk kuliah
lagi atau kursus keahlian tambahan di Negara maju dan pusat peradaban dunia.
Insentif tersebut bisa mengatasi sikap guru yang selama ini pragmatis dan
menganggap sertifikasi semata hanya untuk menggapai tunjangan profesi demi
meningkatkan penghasilan.
Program
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di bawah koordinasi Menteri Keuangan
sebaiknya menekankan asas keadilan. Yakni dengan menyelenggarakan program bea
siswa bagi guru berprestasi untuk belajar atau magang ke negara maju. Sejak
LPDP dibentuk, publik melihat belum banyak menyentuh kepentingan para guru.
Masyarakat melihat bahwa program di atas terkesan elitis dan cenderung berpihak
kepada yang kaya dan orang kota besar. Terlebih mereka punya fasilitas dan uang
untuk mendapat Letter of Acceptance (LoA) atau conditional
letter dari perguruan tinggi luar negeri.
Sementara itu, para guru
dari desa dan pelosok daerah kesulitan memperoleh LoA. Karena untuk mendapatkan
itu prosesnya panjang dan membutuhkan dana dan kemampuan bahasa asing yang
lebih. Arah dan sasaran LPDP perlu segera direvisi agar bisa mengakomodasi para
guru dalam mengembangkan kariernya. Pengelola LPDP harus mampu mengarahkan
segenap usahanya guna ikut mencetak guru masa depan.
Program sertifikasi guru
perlu pembenahan sesuai dengan perkembangan pendidikan global. Apalagi
penelitian Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (P2TK3 Kemdikbud) menyatakan bahwa tunjangan profesi
guru yang sudah berjalan selama ini kurang sesuai dengan yang diharapkan.
Bertahun-tahun Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menjadi wadah profesi guru berjuang untuk
meletakkan anggaran pendidikan nasional dalam posisi yang tepat. Namun selalu
terpental akibat turbulensi politik anggaran yang tiada henti. Setidaknya sudah
tiga kali PGRI melakukan gugatan hukum terkait dengan implementasi anggaran
pendidikan dalam APBN sebesar 20% seperti yang dinyatakan dalam UUD 1945.
Setidaknya sudah tiga kali
PGRI melakukan gugatan hukum lewat Mahkamah Konstitusi (MK) terkait implementasi
20% anggaran pendidikan secara tepat. Karena selama ini persentasi anggaran
tersebut dalam praktiknya di daerah sering bias sasaran. Bahkan anggaran
pendidikan banyak yang dimasukkan dalam pos dana alokasi umum (DAU). Sehingga
alokasinya kurang relevan untuk sektor pendidikan. Karena kurangnya pengarahan
dari pemerintah pusat terkait implementasi anggaran pendidikan maka banyak
daerah yang melakukan bias sasaran.
Padahal, jika anggaran
pendidikan itu dilaksanakan secara konsisten, maka tidak ada lagi gedung
sekolah yang bobrok dan semua guru kondisinya melek teknologi karena
infrastruktur dan alat peraga pendidikan yang canggih bisa terpenuhi.
Kompotensi guru harus segera dibenahi secara totalitas. Karena banyak guru yang
kinerjanya masih rendah.
Ketika uji kompetensi
dasar (UKG) dijalankan masih banyak yang di bawah standar nasional yang
ditentukan. Ironisnya, meskipun UKG rendah, tapi tunjangan profesi guru tetap
diterima. Pada saat ini ada dua macam pelaksanaan uji sertifikasi guru. Yakni sebagai
bagian dari pendidikan profesi keguruan, bagi mereka calon pendidik. Dan
pelaksanaannya berdiri sendiri bagi mereka yang pada saat diundangkannya UUGD
sudah berstatus sebagai pendidik.
Sertifikasi guru
dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Guru yang memenuhi penilaian
portofolio dinyatakan lulus dan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru
yang tidak lulus penilaian portofolio masih punya kesempatan untuk melengkapi
portofolio agar mencapai nilai lulus, atau mengikuti pendidikan dan pelatihan
profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi sesuai persyaratan yang ditentukan
oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi.
Tak bisa dimungkiri lagi
bahwa banyak guru yang kondisi kesehariannya bertolak belakang dengan
pengembangan profesionalitas. Yakni semakin banyak guru yang jauh dari
buku-buku aktual, hilangnya kebiasaan diskusi, menulis, apalagi melakukan riset
atau penelitian ilmiah. Impitan ekonomi dan kurang kondusifnya budaya kerja
membuat para guru hanya bisa menghitung hari.
Bimo Joga Sasongko
Pendiri Euro Management Indonesia
Ketua Umum IABIE
Link : http://id.beritasatu.com/opini/guru-dan-efektivitas-anggaran-pendidikan/169215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar